Adian, Pham, dan Kekuatan Media Sosial

Media sosial kembali memakan korban. Kali ini, Adian Napitupulu, politisi PDI Perjuangan yang terkena bisanya. Fotonya yang sedang tidur – namun oleh Adian diakui sebagai leyeh-leyeh, ia mendapat hujatan luar biasa. Sontak saja, pria yang biasanya selalu dipuja puji ini menjadi musuh nomor satu netizen.

Akibatnya, Adian mengaku sampai tidak berani membuka BBM dan Twitter, karena tidak mau membaca mention yang masuk. “Gua sampai enggak berani buka BBM, Tempo mau tanggung jawab enggak? Sakitnya di sini.”

Saking berangnya, Adian pun melaporkan redaksi Koran Tempo ke Dewan Pers. Menurutnya, berita tersebut telah melanggar kaidah jurnalistik. “Saya melalui kuasa hukum mengadukan Redaksi Koran Tempo atas pelanggaran Kode Etik Jurnalistik dalam pemberitaan yang dimaksud di atas ini kepada Dewan Pers sesuai dengan Pasal 15 UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.”

Lain Adian, lain pula kasus yang membelit Pham Van Thoai. Ia adalah seorang buruh pabrik asal Vietnam, yang berkunjung ke Singapura bersama pacarnya. Singkat cerita, ia ingin membelikan I-Phone 6 untuk pacarnya yang sedang berulang tahun, di Mobile Air, sebuah toko di Sim Lim Square Singapura. Malang tak dapat ditolak, lantaran Bahasa Inggris yang pas-pasan, ia pun ditipu oleh pihak penjual.

Pham sudah membayar sebesar 950 dolar untuk membeli iPhone 6 tersebut kepada Mobile Air. Namun ia diminta untuk membayar biaya tambahan 1.500 dolar sebagai biaya garansi. Jika dia tidak membayar biaya garansi itu, maka dia tidak bisa mendapatkan iPhone 6 tersebut.

Penjual, memanfaatkan keawaman Pham dengan memintanya menandatangani perjanjian. Namun ia tidak teliti membacanya apalagi karena Bahasa Inggris-nya tidak begitu lancar. Perlu waktu berbulan-bulan bagi Pham untuk menabung membeli iPhone 6 sebagai hadiah ulang tahun untuk pacarnya.

Pham sampai berlutut dan menangis, memohon untuk uangnya dikembalikan. Tetapi karyawan toko hanya menertawakannya. Mereka akhirnya sepakat mengembalikan separuhnya, tapi pacarnya menolak pergi tanpa mendapatkan sisa uang, dan lalu menelepon polisi.

Saat polisi tiba, staf di Mobil Air mengatakan bahwa Pham telah menandatangani perjanjian dengan mereka, dan menawarkan untuk mengembalikan dana hanya $ 70. Asosiasi Konsumen Singapura (Consumers Association of Singapore/Case) pun turun tangan, dan Pham akhirnya mendapat pengembalian dana sebesar $ 400.

“Saya akan pulang dua hari lagi, dan saya tidak ingin ada masalah, jadi saya memutuskan untuk menerima pengembalian dana secara parsial,” ujarnya.

Ketika penegak hukum tidak bisa memberikan keadilan bagi Pham, ternyata Tuhan berkehendak lain. Adalah Gabriel, seorang pengusaha warga Singapura, yang berinisiatif untuk menggalang dana dari para pengguna internet untuk membantu Pham.

Penggalangan dana itu dimulai dari tanggal 5 – 7 November 2014, terkumpul total lebih dari 15.000 dollar Singapura. Dari dana tersebut sebagian dipakai membeli sebuah IPhone 6 untuk diberikan kepada Pham, sedangkan seluruh uang sisanya hendak diberikan kepada Pham oleh Gabriel. Tetapi, ternyata Pham hanya mau menerima 550 dollar, sejumlah kerugiannya saat berbelanja di Mobile Air.

Latar belakang Pham dan sikapnya yang baik, mengundang simpatik para netizen. Sedangkan, Jover Chew, pemilik Mobile Air  harus menerima hukuman moral yang dijatuhkan oleh para netizen itu; dia di-bully dan dicerca habis-habisan di berbagai media sosial. Berbagai informasi pribadi Chew disebarkan, seperti alamat rumahnya, alamat toko-toko yang dia milikinya, berikut nomor-nomor teleponnya, sampai gambar-gambarnya yang diparodikan dalam pose setengah telanjang sedang. Akibat hukuman netizen, ia pun harus menutup tokonya.

Kekuatan Media Sosial

Masih banyak kasus lainnya yang serupa, entah itu yang untung atau malah buntung lantaran media sosial. Florence, dan MA, adalah sosok yang harus merasakan dinginya ruang tahanan lantaran media sosial. Namun di lain sisi, Joko Widodo, seorang berwajah ndeso dari kalangan biasa pun mampu menjadi orang nomor satu negeri ini, dan keberhasilannya, tak bisa dilepaskan dari peranan media sosial.

Edmund Ingham, kolumnis Forbes, bahkan menyatakan bahwa telah jelas, banyak hal yang tidak diinginkan dalam kehidupan sehari-hari, akhirnya terjadi informasi yang beredar di internet. Florence hanya ingin menumpahkan kekesalannya. Namun gara-gara ia melakukannya di Path, kehidupannya di dunia nyata pun terusik.

Pada awalnya Facebook tidaklah didesain sebagai alat pemasaran, dan YouTube semata-mata hanyalah ‘rumah’ bagi pembuat video. Namun tuntutan jaman, membuat semuanya berubah.

Baik-baiklah, di media sosial.

 

*Ditulis oleh Putu Heri, peneliti ICMES, pernah dimuat di liputanislam.com

Leave a comment