Saat Berpeluang Menyesatkan Informasi, di situ Saya Merasa Sedih

Seorang wartawan senior menulis di akun Facebook-nya, menuturkan kejadian –salah paham—salah tafsir—salah kutip—dari media-media online yang beritanya hari ini semarak ditayangkan di berbagai media. Ia, yang mengaku berada di samping narasumber saat tanya jawab berlangsung, menyatakan bahwa ada kalimat/ jawaban si narasumber yang tidak dimuat secara utuh, sehingga menimbulkan persepektif yang berbeda.

Berita ini, dibaca oleh seorang mantan Menteri di era pemerintahan Gus Dur, dan ia mengkritik keras pernyataan si narasumber, yang dianggapnya terlalu menggampangkan masalah. Mengetahui hal itu, si wartawan senior pun berkomentar, meluruskan, atau tepatnya mengungkapkan peristiwa yang sebenarnya terjadi.

Keduanya pun beradu argumen.

Jujur saja, wartawan senior itu adalah sosok yang saya percayai, walau tidak pernah mengenalnya secara pribadi. Tapi saya dan beliau pernah terlibat sedikit perdebatan tentang sebuah topik, dan dari perdebatan itu saya menilai bahwa ia adalah orang yang apa adanya. Dia jujur menyatakan pendapatnya, walau ia tahu bahwa saya pasti akan menentangnya. Cuman waktu itu, saya rada kesal ketika ia meminta agar saya jangan banyak bicara tentang topik yang kami bahas karena terlalu sensitif (masalah SARA). Padahal, ia adalah wartawan yang meliput langsung lokasi konflik atas kasus yang kami perdebatkan, dan tentunya – wajar jika saya ingin mendengar dari dia langsung – walaupun ya itu tadi, ada beberapa pendapatnya yang saya tidak suka/ tidak berkenan di hati saya.

Balik ke masalah si mantan menteri dan wartawan senior itu. Keduanya memiliki argumen masing-masing, dan sama-sama bertahan. Bahkan salah satunya ada yang terkesan menyerang. Namun, bukan itu poinnya.

Saya mulai bertanya-tanya, entah siapa yang benar, apakah si wartawan senior atau media-media nasional yang hari ini telah menurunkan berita itu.

Hal ini sangat penting bagi saya, karena saya mengutip berita tersebut dan mempublikasikan ulang.

Jika media itu benar, maka saya telah meneruskan berita yang benar. Namun jika si wartawan senior itu yang benar, maka saya telah meneruskan berita yang tidak utuh/ tidak sesuai dengan konteks aslinya/ bahkan bisa disebut sebagai penyesatan informasi. Tentu, jika tidak ada membaca berita yang saya teruskan tersebut, maka tidak akan ada masalah. Namun apa yang terjadi jika ada 10 orang yang membacanya? Saya berpeluang memberikan penyesatan informasi kepada 10 orang.

Bagaimanapun, saya tidak melihat langsung kejadiannya. Saya hanya meneruskan apa yang disampaikan media. Saya tidak benar-benar mengetahui kejadian yang sebenarnya.

Seringkali, ketika membaca sebuah berita, hati saya berperang hebat. Benarkah memang begini adanya? Benarkah demikian? Benarkah informasi ini akurat? Tidakkah ada peluang penyesatan di dalamnya?

Menimbang berbagai kemungkinan ini, di situ saya merasa sedih.

Mereka, Musuh Islam dan Indonesia

Pertentangan dalam tubuh organisasi Islam di Indonesia cenderung diabaikan oleh media massa, tidak seperti pertentangan yang terjadi di dalam Partai Golkar, PPP, ataupun di Parlemen. Sekilas, topik ini memang tidak menarik, dan selain itu, ormas-ormas ini juga tidak berposisi sebagai lembaga eksekutif, legislatif ataupun yudikatif, kendati kader-kader mereka banyak yang terlibat di dalam struktur pemerintahan.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai salah satu referensi bagi ummat Muslim di Indonesia, memiliki peranan yang cukup besar dalam memberi warna terhadap perkembangan hal-hal yang terkait dengan isu keagaamaan. Apalagi sebagai lembaga yang dijadikan rujukan dalam menentukan halal-haram sebuah produk, maka, setiap pernyataan yang keluar dari tokoh MUI kerap digunakan sebagai legitimasi untuk membenarkan atau menjustifikasi sesuatu perkara. Hanya saja, jika dalam tubuh MUI sendiri terdapat perbedaan sikap dalam membandang suatu isu, siapa yang kemudian layak untuk diikuti?

Continue reading

#Illridewithyou: Perlawanan Terhadap Rasisme dan Kefanatikan

hastag illridewituKetika Ahmadiyah diberangus, penganut Syiah Sampang diusir dari kampung halamannya, dan jemaat GKI Yasmin harus beribadah di trotoar menjadi catatan sejarah buruk bagi Indonesia, maka tidak demikian halnya dengan Australia. Di negara yang penduduknya mayoritas beragama Kristen ini, kaum Muslimin tetap diperlakukan dengan manusiawi.

Ya, inilah Australia. Hari ini, tagar #Illridewithyou kembali menjadi trending topic. Sejak kemarin, #Illridewithyou digunakan oeh netizen Australia sebagai penolakan terhadap adanya ancaman, intimidasi, ataupun penyerangan yang mungkin saja dilakukan terhadap kaum Muslimin di Australia, sebagai imbas atas adanya penyanderaan sebuah kafe di Sydney, oleh oknum yang membawa bendera Islam.

Continue reading

Media dan Krisis Moral

Media, sebagai alat penghubung dalam bermasyarakat memiliki peranan yang sangat vital. Bahkan salah satu founding father Amerika, Thomas Jeffersen, menyatakan bahwa dasar dari berlangsungnya pemerintahan, adalah menampung aspirasi rakyat, dan hak itu harus dijaga sepenuhnya.

“Jika saya diharuskan memilih antara memiliki pemerintahan tanpa pers, atau memiliki pers tanpa pemerintah, maka saya tidak akan ragu untuk memilih yang terakhir,” ucapnya.

Pernyataannya ini merupakan sejarah yang sangat monumental bagi dunia pers, dan sejak saat itulah pers disebut-sebut sebagai pilar keempat demokrasi. (Thomas Jefferson to Edward Carrington, 1787. ME 6:57)

Pers sebagai kekuatan demokrasi dan menjadi penopang bagi pilar-pilar demokrasi lainnya seperti eksekutif, legislatif dan yudikatif. Di saat pilar-pilar lainnya lumpuh, maka pers diharapkan akan tampil di depan untuk menyelamatkan tegaknya nilai-nilai demokrasi di sebuah negara. Tentunya, untuk mengawal pilar demokrasi lainnya, pers haruslah berlandas pada asas-asas jurnalistik.

Continue reading

Dua Dosa Republika Online

Jurnalis harusnya berpihak kepada kebenaran, bukan kepada uang atau sejenisnya. Society of Professional Journalists  (SPJ) menyebutkan, bahwa pencerahan yang diberikan kepada masyarakat oleh media, merupakan cikal bakal keadilan, sekaligus dasar dari sebuah demokrasi. Seorang jurnalis dituntut untuk berintegritas, memberikan informasi yang akurat, adil dan komprehensif. (SPJ, September 2014)

Namun sepertinya, semangat tersebut tidak ada pada jurnalis Republika.co.id. Media ini, perlahan-lahan telah mulai kehilangan ‘ruhnya’. Tugas media seharusnya meminimalisir ketidak-nyamanan, atau keresahan yang timbul di masyarakat terkait berita tersebut, dan ironisnya, poin penting ini diabaikan oleh Republika. Mengapa saya katakan demikian?

Continue reading

Adian, Pham, dan Kekuatan Media Sosial

Media sosial kembali memakan korban. Kali ini, Adian Napitupulu, politisi PDI Perjuangan yang terkena bisanya. Fotonya yang sedang tidur – namun oleh Adian diakui sebagai leyeh-leyeh, ia mendapat hujatan luar biasa. Sontak saja, pria yang biasanya selalu dipuja puji ini menjadi musuh nomor satu netizen.

Akibatnya, Adian mengaku sampai tidak berani membuka BBM dan Twitter, karena tidak mau membaca mention yang masuk. “Gua sampai enggak berani buka BBM, Tempo mau tanggung jawab enggak? Sakitnya di sini.”

Saking berangnya, Adian pun melaporkan redaksi Koran Tempo ke Dewan Pers. Menurutnya, berita tersebut telah melanggar kaidah jurnalistik. “Saya melalui kuasa hukum mengadukan Redaksi Koran Tempo atas pelanggaran Kode Etik Jurnalistik dalam pemberitaan yang dimaksud di atas ini kepada Dewan Pers sesuai dengan Pasal 15 UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.”

Continue reading

Kang Emil, Sang Guelta d’Archei

gambar-10
Guelta d’Archei

Menyaksikan timeline Walikota Bandung, Ridwan Kamil, adalah sebuah keasyikan tersendiri. Komunikasi yang terjalin antara ia dan warga Bandung, menegaskan banyak hal, salah satunya: tidak ada jarak antara rakyat dan pejabat. Sepanjang hari, timelinenya penuh dengan cuitan dari masyarakat yang mengadu.

Seperti yang diadukan oleh @sirwijayaisme, yang menuntut agar coretan-coreatan di kompleks gedung segera dibersihkan.

“Pak Ridwan Kamil alangkah indahnya jika janji Bapak tadi untuk hapus coretan-coretan di GSJ cepat direalisasi.”

“Ya besok pagi, janji,” jawab Ridwan Kamil, yang biasa dipanggil Kang Emil. Dan siang ini, saya mendapati foto para pekerja yang tengah membersihkan gedung yang dimaksud.

Ada lagi warga yang mengeluhkan pelayanan administrasi. Ia mengadu, lantaran dikenakan biaya yang sangat untuk membuat KTP dan KK.

Continue reading